Thursday, March 20, 2008

" Prasita...You've Gotta be Kidding Me "



Perempuan itu menatap nanar surat yang berada dalam genggamannya.
Wajahnya pucat pasi . Nafasnya tersengal menahan emosi yang tertahan.
Beberapa kali dia harus memicingkan matanya, berputar mengitari dan mengeja
huruf demi huruf. Bukan karena ia tidak pintar membaca. Ijazah Diploma III Marketing yang tersimpan rapi di lemarinya, sudah menunjukan siapa dia.
Ia hanya ingin meyakinkan hatinya .
Diulanginya kembali dia membaca surat tanpa nomor itu.
Tekadnya sudah bulat.

“ Rin, ayolah, sekali saja terima tawaran om kali ini..”
“ Om Danu mau kasih berapapun uang yang perlukan, atau kamu mau liburan kemana, Nusa Dua, atau kamu mau om ajak ke Candadista, cottagenya cantik lho Rin, persis menghadap pantai, dan……! “
Laki laki bertubuh subur itu terus merancu. Suaranya ditekan sepelan mungkin, hawatir
terdengar oleh orang yang berada , di sebelahnya.

Rini melihat timer yang berada di meja kerjanya, hampir sepuluh menit dia harus bersabar menahan emosinya yang hampir memuncak. Ia berusaha tersenyum, tanpa
Sepatah katapun keluar dari bibirnya.

“ Nomor 148, di meja no 2 “. Terdengar suara dari microfon menggema memenuhi ruangan . Laki laki itu baru tersadar , buru buru dia menarik tangannya yang dari tadi dia silangkan di atas meja no 2.
“ Maaf pak, pelanggan lain sudah menunggu “. Dengan berat hati dia beranjak dari
kursi, hatinya mangkel, …gagal lagi ..!!

Di sebelah Rini, Sita petugas Service point berwajah manis, hampir dibuat menangis oleh seorang laki laki gempal dengan tato hampir memenuhi seluruh tangannya. Bekas luka di wajahnya menambah seram penampilannya..

“ Eh, kau tinggal tunjuk saja berapa semua tunggakannya lalu kau berikan kepadaku dan akan aku bayar semuanya, tapi telepon dengan nomor sama harus terpasang kembali, faham kau nona cantik…!! “

Tanpa memperdulikan laki laki itu, Sita mencari data tunggakan telepon dengan nomor 271xxxxx. No favorit, dengan angka kembar lima digit.
Pemiliknya pasti bukan orang sembarangan..
Tidak memerlukan waktu lama, di monitornya sudah terpampang data yang lengkap.
No telefon 271xxxx atas nama Ir. T. S
Alamat Jl Garuda IV no xx
Jumlah tunggakannya tercantum Empat juta dua ratus tujuh dua ribu rupiah.
Distribution point XII, Rumah kabel D.18.
Jaringan sudah dicabut enam bulan berjalan.
Nomornya juga mungkin sudah terjual ke pelanggan lain.

Sita mengernyitkan dahinya. Dia sudah menghubungi petugas di lapangan dan memastikan bahwa nomor sekian jaringan nya sudah dicabut, nomornya juga sudah terjual ke pelanggan baru. Sedangkan untuk pasang baru , jaringan di lokasi tesebut sudah tidak tersedia.
Itu artinya dia harus siap siap menerima cacian pedas dari lelaki yang mukanya keruh seperti air teh yang sudah basi.

Benar saja, baru dua patah kata Sita bicara, lelaki itu sudah keburu merancu.
Gerutuannya sampai terdengar ke ruangan pengolahan data.
Sita berusaha menjelaskan dengan detail. Suaranya hampir tidak terdengar.
Dan lelaki itu terus mengomel.

Kalau sudah begini Sita akan segera minta Bu Sisca Kepala Bagian Pemasaran.
Biarin bu Sisca yang “mengeksekusi”
Stok kata katanya sudah habis, untuk memberi penjelasan kepada pelanggannya yang satu itu.

Ini bukan pertama kalinya Sita menghadapi pelanggan seperti ini.
Dipastikan bu Sisca adalah orang terahir yang akan diminta bantuannya.
Sita amat kagum kepada perempuan cantik berotak cemerlang itu.
Hampir setiap permasalahan akan selesai ditangannya.
Sita ingin seperti bu Sisca.

Fuhh…butir butir keringat menetes dikeningnya.
Sita mengambil tissue, dan mengelap keringatnya.
Dia menarik nafas dalam dalam
Repotnya menghadapi orang dungu, mending berhadapan dengan orang “faham” sepuluh , dibandingkan harus menghadapi satu orang semacam dia, fikir Sita.
“ Aneh sekali, orang yang berduit , masih saja menggunakan jasa preman semacam dia, kenapa tidak datang langsung ke kantor ini”, Sita bergumam dalam hatinya.

Dua sahabat itu berjalan beriringan menyusuri perempatan jalan lalu ahirnya terpisah.
Tiba tiba Sita teringat ibunya yang amat sangat dicintainya.
Di kampung ibunya menahan derita dan lara berkepanjangan karena suaminya, ayah Sita, adalah seorang pemabuk dan penjudi.

Kemarin ibunya memberi kabar bahwa, bu Ronald rentenir batak itu mencak mencak akan mengambil TV berukuran 14 “inch pemberian Sita dari gaji pertamanya sebagai seorang tenaga lepas harian.
Sita sedih, hatinya meradang. Upah hasil kerjanya , tak mampu untuk menyelesaikan masalahnya.
Tubuhnya harus tergadai lagi dan digantikan oleh rupiah demi rupiah.

Di sebuah kamar hotel seorang lelaki bertubuh tambun dengan perut buncit itu mengerang kuat, melolong bagai srigala malam.
Seluruh ototnya meregang, merasakan berjuta kenikmatan , keringat membuncah membanjiri seluruh tubuhnya. Nafasnya tersengal lalu ahirnya terkulai lemas. Seorang wanita muda bertubuh sintal berwajah manis memunguti helai demi helai pakainnya yang tercecer. Tanpa ekpresi, dipungutnya lembaran uang kertas sebanyak lima lembar seratus ribuan, yang dilemparkan begitu saja oleh lelaki itu. Ini kali ke empat ia menemani bandot tua itu

Dan perempuan berwajah manis, dengan segala kepalsuannya, mampu melakonkan sandiwara tentang dirinya..Pun dihadapan sahabat paling dekatnya, Rini
Kerapuhan jiwanya menenggelamkannya pada lumpur paling dalam.
Ceceran keringat nista tanpa cinta…yah tanpa cinta, dia tukar dengan rupiah..

Entah sudah berapa nilai rupiah yang dia dapatkan hasil perburuannya, menggadaikan dirinya. Dia tidak perduli, yang dia ingat hanya bayang bayang wajah lelah ibunya, dan bau alcohol ayahnya serta kepingan kepingan uang yang tercecer di meja judi..

Rini terkesiap memandang wajah sahabatnya itu.
Dia mencoba menahan emosinya Pertanyaan demi pertanyaan berputar seperti beliung.
Diguncangkannya bahu Sita yang merunduk bisu, perempuan yang sudah tiga tahun menjadi kawan baiknya itu tergugu.
“ Mengapa Sit, …ada apa,..mengapa kamu lakukan semua ini, please deh Sit, jawab pertanyaanku “ .
“ Sit, jawab sekali saja pertanyaanku kenapa kamu lakukan ini ? “

Namun tak sepatah katapun keluar dari bibir Sita, hanya isak tangis yang tertahan dari bibirnya yang kelu.
Sita memilih pergi meninggalkan Rini ,meninggalkan semua harapan dan asanya sejak kecil..Memilih pergi meninggalkan bu Sisca yang dikaguminya.
Dia harus rela meninggalkan gedung kantor yang sudah tiga tahun diakrabinya.
Dan Rini tidak pernah menemukan jawaban.

“ Sita, dimanakah kamu, ..? “

Di sudut sebuah kamar, nampak sepasang laki laki dan perempuan, bergumul di ranjang jahanam. Memompa seluruh hasratnya…
Berpacu dalam deru dan nafsu.
Dipungutnya rupiah demi rupiah.
Untuk anak semata wayangnya, yang tak kenal siapa bapaknya.
Untuk ibunya yang tak pernah henti dinistakan ayahnya.



************************************************************************

Cerpen ini kudedikasikan Untuk Prasita,…perempuan sejuta bayang semu
Aku mengasihimu…



http://blog.indosiar.com/sastrawiguna/?op=readblog&idblog=82236


0 comments:

Post a Comment