Thursday, March 20, 2008

Cerpen:

Kejadian ini kualami sudah cukup lama. Mungkin 4 tahun... 5 tahun... atau malah 6 tahun yang lalu. Aku tidak yakin kapan tepatnya.
Tapi aku sangat yakin dengan apa yang terjadi padaku saat itu. Amat sangat yakin. Hingga aku bisa menceritakannya pada kalian tanpa sedikitpun detail yang terlewat...

Waktu itu aku belum seperti hari ini. Tinggiku tidak lebih dari 157 cm, berat badanku mungkin hanya sekitar 43 kilo gram, dan itupun sudah termasuk penyangga tulang belakangku, wajahku berminyak, poni rambutku nyaris selalu menusuk bola mataku.
Dan yang pasti aku sangat tidak berdaya!

Tapi aku beruntung. Karena disaat seperti itu, aku mempunyai seseorang untuk meyakinkanku bahwa aku cukup normal untuk dicintai. Ya... jangan kaget. Tapi aku memang mempunyai seorang pacar. Dia bernama Mika. Dia sempurna. Dia memiliki logat yang unik. Dia lucu. Dan dia HIV positif.

Suatu hari Mika datang kekotaku yang berjarak 3 jam perjalanan dari tempatnya tinggal. Oh, ya... kita tinggal di kota yang berbeda. Tapi dia cukup sering berkunjung. Untuk sekedar mengajakku bolos sekolah, atau mengajakku berburu CD bekas.
Waktu itu keadaannya tidak begitu baik. Pipinya bengkak karena gigi gerahamnya membusuk. Mungkin karena lubang yang dibiarkan terlalu lama. Aku tidak tahu.
Tapi hal itu membuatku segera memutuskan untuk menunjukan keramahan kota kembang kepadanya.

Aku mengajak Mika ketempat praktek seorang dokter gigi muda yang senyumannya selalu membuatku merasa seperti gadis kecil di hari natal. Dia begitu menyenangkan dan memiliki ketenangan yang membuatku merasa tidak memerlukan obat bius ketika gigiku dicabut.
Aku ingin Mika merasakannya juga...

***


Dan mereka berdua mulai bersalaman. Lalu menyebutkan namanya masing-masing secara bergantian.
Aku ingat, aku tersenyum puas waktu itu. Dengan tidak sabar aku sedikit melonjak-lonjak dan mengatakan apa yang terjadi pada gigi Mika agar ia bisa segera diperiksa.
Dokter itu balas tersenyum. Menyilakan Mika duduk dibangku periksanya. Menyuruhnya berkumur dan membuka mulutnya lebar-lebar.

Dokter itu seharusnya sudah mulai memeriksa, jika saja Mika tidak tiba-tiba menutup mulutnya kembali dan berkata...
"Saya AIDS, dok..."

Aku menatap Mika dan dokter bergantian. Mika tetap dengan posisi setengah tidurnya dibangku periksa, berwajah santai dan mengelus pipinya sendiri. Sedangkan sang dokter tampak seperti binatang yang diawetkan. Melotot dengan posisi tangan siap memeriksa yang tidak alami.

"Ada apa?"
Aku akhirnya bertanya karena tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Waktu itu aku yakin, bahwa reaksi yang ditunjukan oleh dokter pasti bukan karena kata-kata Mika. Karena aku pernah mengantarnya beberapa kali ke dokter. Sehingga tahu benar, bahwa yang dikatakan Mika adalah untuk membantu dokter menentukan penanganan yang akan diberikan. Bukan untuk membuatnya terkejut.

Dokter itu menggeleng.
"Maaf, tidak bisa..."

"Apa yang tidak bisa?"
Aku kembali bertanya.

"AIDS... Terlalu berbahaya..."
Aku terkejut. Bagaimana mungkin AIDS bisa menjadi berbahaya bagi seorang dokter?
Sebagai seorang gadis yang sering kali mengunjungi berbagai macam dokter, aku terlanjur terlalu mempercayai mereka. Dimataku mereka adalah manusia super yang bisa membuatku merasa aman.
Ya. Aman...
Tidak ada yang bahaya.

Waktu itu aku tidak ingin merusak gambaran tentang dokter sempurna dikepalaku. Maka aku berpikir bahwa mungkin saja sang dokter lupa tentang kewaspadaan universal yang seharusnya diterapkan kepada Mika.

"Bagaimana dengan kewaspadaan universal? Apa dokter lupa?"

Dokter itu menggeleng.

"Mencuci tangan setelah memeriksa? Setelah dipakai peralatn bisa disterilkan kembali, iya kan?..."

"Maaf, tidak bisa..."

Ia menggeleng lagi.

Waktu itu Mika merosot turun dari kursinya. Menghampiriku lalu memintaku diam.
Tapi aku tidak mau diam. Dengan kegigihan yang tidak pernah kuduga sebelumnya, aku terus menjelaskan tentang kewaspadaan universal. Menyebutkan semua benda dan alat-alat yang kutahu untuk diterapkan kepada penanganan tersebut.
Tapi dokter itu hanya diam sambil menggelengkan kepalanya sesekali.
Aku mulai marah, frustasi dan kecewa. Tangisanku tidak terdengar sehingga hanya menampakkan nafas tersenggal dan air mata yang mengalir deras.

Aku mungkin saja gigih. Tapi tetap tidak berdaya karena dokter yang sebelumnya kupuja itu ternyata tidak mendengarkanku.
Mika menenangkanku dan berusaha meyakinkan aku bahwa dia tidak apa-apa. Gigi yang membusuk tidak membuat sakit, itu katanya. Ia bahkan menjanjikanku satu mangkuk besar es krim jika aku berhenti menangis.

Kalian tahu? Waktu itu Mika tidak mengerti. Bukan itu intinya. Tangisanku bukan karena cengeng. Tapi karena aku merasa kecewa Mika tidak mendapatkan apa yang sudah seharusnya dia dapatkan.

Sekarang, ketika aku sudah sedikit lebih tinggi, sudah terbebas dari penyangga tulang belakang, berkulit sehat, berponi rata dan sudah melatih diri untuk bertampang sedikit galak. Aku pasti bisa menghadapi dokter itu dengan lebih baik. Tanpa perlu menangis.
Aku akan berdiri dengan tegak didepannya. Mendongakkan kepala. Melipatkan kedua tangan didada. Menaikan sebelah alisku. Lalu berkata:

"Hey! You've gotta be kiddin' me!"


(Untuk Mika disurga. Sebuah pembelaan yang terlambat dariku)

http://blog.indosiar.com/indian/?op=readblog&idblog=82154

0 comments:

Post a Comment