Thursday, March 20, 2008

Cerpen : You've gotta be kidding me!

Gambar Negaraku; Indonesia


Tersegel sudah tempat itu bagiku, suatu ketika pernah kulihat police-line berwarna kuning melintang memagari bagian depan sebuah rumah warga, tidak ada yang bisa masuk ke dalamanya, kecuali orang-orang yang berkepentingan. Entah apa penyebabnya, ada kejadian apa di tempat itu, lalu kenapa ada banyak polisi berbadan kekar menjaga dilengkapi pistol yang kapan saja bisa digunakan untuk melumpuhkan para kriminal pelanggar aturan? Tapi untuk remah-remah kota sepertiku, perlengkapan itu begitu menakutkan. Membayangkan pistol saja sudah membuatku bergetar hebat, apalagi jika amunisinya sudah merobek kulit dan menembus dada mudaku.

Tidak bisa kubayangkan betapa sakitnya, namun di tempat berdiriku sekarang rasanya jauh lebih memiriskan ketika tempatku dulu girang menadah rupiah itu, kini bagaikan mimpi semata, hanya mampu kulihat tanpa bisa kusentuh. Perempatan jalan itu betul-betul telah tersegel oleh aturan yang kulihat lewat sebuah spanduk tepat di sudut jalan yang melintang dari tiang traffic light.

Meski aku tidak lagi mengenyam bangku sekolah, tapi setidaknya aku bisa baca-tulis seadanya. Dulu aku pernah sekolah sampai kelas I SMP, duduk di kelas I.2, tapi sekalipun tidak pernah kulihat nilai-nilai dalam raporku. Singkatnya rapor terakhirku berwarna merah, dan aku patut berbangga sebab tidak ada nilai bertinta merah di dalamnya. Di sampul raporku tertulis nama Muhammad Yunus. Itulah namaku, namun lebih akrab disapa Yunus atau Unu. Jika anda ingin memanggilku, panggil Yunus saja, sebab aku suka sejarah Nabi Yunus ketika berhasil keluar dari dalam perut ikan hiu.

Masih diriku meregang nasib di tepi jalan sembari menatap bentangan spanduk yang sengaja diletakkan di tempat strategis itu. Intinya adalah larangan untuk memberi uang di jalan, atau dapat denda yang jumlahnya tidak sedikit; berjuta-juta. Wah, dapat dari mana?! Aku tercengang hebat. Di bagian bawah cetakan tulisan itu lalu kubaca sebaris kata; Pemerintah Kota. Yang menyeru adalah pemerintah, itu berarti pangkatnya jauh lebih tinggi dari polisi, jauh lebih disegani dari polisi. Jangankan aku, polisi pun kukira takut dengan pangkatnya.

Himbauan itu jelas-jelas ditujukan kepadaku dan sekian banyak orang-orang seprofesiku; anak-anak, lelaki tua, lelaki buntung, ibu-ibu yang menggendong anak bayinya, sampai nenek-nenek jompo, dan semuanya yang juga kusebut sebagai remah-remah kota. Sudahlah!

Buru-buru aku melangkah menenteng kaleng penyok kosongku. Kali ini aku pulang dengan keraguan tentang nasibku nanti, aku tak mampu berbuat apa-apa lagi dengan tempatku dulu. Bukan, itu bukan tempatku, itu milik orang banyak, tapi pejabat itu yang punya wewenang mengatur, dan aku, hanya remah-remah kota di balik nama Yunus.

================


Malam beranjak sunyi, gubuk tua tempat tinggalku di pemukiman kumuh di salah-satu sudut kota itu terasa menampar dengan aroma dinginnya. Aku tidak bisa terlelap, sementara kegelisahan terus bergelayut di otakku oleh karena bayang-bayang tempat yang tiap hari kujadikan sebagai lumbung penghasilanku kini telah tersegel oleh aturan itu. Harus ke mana lagi aku dan rekan seprofesiku yang lain? Apalagi kebanyakan dari mereka adalah masih terbilang keluargaku sendiri, dan kutahu persis mereka sudah menggantungkan hidup di perempatan jalan itu. Tapi kini?

Beralaskan selembar kain apek, aku berbaring dan sesekali menatap bimbang raut wajah ayah dan ibu yang sudah lelap. Mereka belum tahu tempat itu telah tersegel, dan rencananya akan kukatakan besok pagi saja. Perlahan aku bangkit dengan posisi duduk dalam remang cahaya. Kuingat masa sekolahku dulu, lamat-lamat kuhampiri sebuah rak di sudut rumah. Di bawah tumpukan baju-baju itu, kutarik sebuah buku cetak sejarah yang hanya itu satu-satunya buku cetak kupunyai saat sekolah dulu. Itu pun kubeli dari hasil tadahanku di perempatan jalan itu. Kubuka lembarannya, lalu kudapati gambar negaraku sendiri. Ibu dan ayah mengatakan Endonesia, tapi menurutku itu salah. Indonesia lebih tepatnya. Maklum, ayah dan ibu sekalipun tidak pernah tahu bangku sekolah, makanya ia tidak pandai soal eja mengeja huruf. Kasihan juga mereka!

Kutatap lebih dalam lagi gambar negaraku, teringat di kepalaku sebatang pensil yang pernah kuselip di sela-sela tumpukan baju itu. Kudapati masih seperti 5 bulan yang lalu, utuh. Lalu dengan langkah mengendap-endap takut jika sampai ayah dan ibu terbangun, kuraih sebuah pisau dapur sedikit karatan dan mulai merautnya. Namun tanpa kusengaja buku itu tiba-tiba terjatuh, ibu seketika terbangun dan melihatku berdiri seperti maling di hadapannya.

"Siapa Itu?!" kata ibu sedikit takut dengan pandangannya yang masih belum jelas.

"Sa, saya...!" belum sempat kata-kataku lepas, ibu lantas berteriak, apalagi saat melihat sebilah pisau dapur di tanganku.

"Palukka'...(maling)!"

Sontak ayah terbangun seperti orang kebakaran jenggot. Sarungnya segera ia bidak dengan gegabah, lalu menohok diriku yang masih berdiri dalam remang cahaya. Sepertinya mereka tidak mengenali diriku. Kulihat ayah tampak beringas, dan dalam keadaan seperti itu, ayah bisa saja lebih beringas dari polisi atau siapapun yang dengan liar akan melabrak siapapun juga. Sebelum ayah meraih badik yang selalu ia letakkan di bawah bantal, buru-buru aku meraih kembali buku cetak yang terjatuh di lantai papan itu dan segera berlari keluar dengan dada bergemuruh.

================


Keringat mengucur deras dari pori kulitku, nafasku terjerat lelah di kesunyian malam itu. Kujatuhkan tubuhku di trotoar jalan, sementara buku cetak itu masih saja kupegang. Beberapa saat kemudian barulah kusadari bahwa ternyata aku berada di perempatan jalan biasa yang menyita waktuku menadah rupiah di situ. Tidak! Aku melihat spanduk itu lagi, betul-betul menambah kegalauan hatiku oleh jeratan itu.

Aku bergerak bangkit lagi, berjalan terseok meninggalkan tempat yang secara tidak sengaja sudah mengusirku jauh-jauh. Sampai akhirnya aku berhenti di salah satu deretan ruko, kubaringkan tubuhku yang berbantalkan buku cetak itu.

Tubuhku yang ceking berbalut baju kumal pun, kini sedikit terasa lega biarpun dingin ubin mencucuk dan membekukan tulang-tulangku. Sudah biasa aku seperti ini, tidak kupeduli lagi!

Lelah yang teramat kini membuat mataku tertutup seperti gembel tak punya rumah di depan ruko berlantai tiga itu. Sebuah benda menumbuk-numbuk tubuhku, persis seperti plat sepatu laras yang keras milik prajurit Batalyon. Kukira itu seekor kucing yang menggangguku, tapi ternyata bukan. Bola mataku terbuka dan kulihat sebatang kaki milik seorang satpam berseragam lengkap itu membangunkan dengan gerakan sepatunya. Dia memperlakukanku seperti binatang.

"Hei, bangun anak gembel. Jangan tidur di sini!!" katanya membentak runcing.

"Saya cuma mau tidur malam ini saja pak!"

"Di sini bukan tempat tidur. Sana, atau kalau tidak saya tendang kau sekarang!"

"Pak tolong saya pak." Wajahku memelas. Satpam berkumis lebat itu seperti tidak terketuk, dia menarik lenganku teramat keras, lalu menyeretku seperti sampah dalam karung ke tepi jalan. Air mataku meniti, hatiku meringis akan perlakuan itu.

"Baik, Pak, tapi bisa saya minta tolong sebelum saya pergi?" harapku dengan suara bergetar.

"Apa lagi?!" bentaknya garang.

"Saya mau ambil buku cetakku yang itu, Pak! Di situ ada negaraku Indonesia. Negara tanah airku, tumpah darahku!" tunjukku ketakutan. Satpam itu lalu melangkah meraih, lagi-lagi dengan perlakuan yang begitu mengiris hatiku, satpam itu melempar buku cetak itu ke tubuhku dan mengenai tulang igaku yang mencuat. Sakit rasanya, sesakit sembilu mengiris hati. Tapi biarlah. Di situ bukan tempat seorang remah-remah kota bernama Yunus sepertiku.

"Ambil ini negaramu, pecundang! Gembel! Jangan kemari lagi, atau tubuhmu kucincang!" sebegitu hinakah aku di matanya, hingga ucapan itu keluar serupa cemeti yang mengoyak-koyak keadaanku yang tak berdaya ini.

Kini aku melangkah pergi dengan mata berkaca. Dalam langkah kecil, kubuka kembali lembaran yang terdapat gambar negaraku Indonesia di situ. Air mataku jatuh membasahi sketsa itu dalam genggaman tangan gemetar.

Tepat di ujung jalan aku terhenti menatap kesunyian, tidak ada siapa-siapa lagi kusaksikan, hanya raut kota yang tertidur di mataku. Di tepi trotoar aku duduk tertunduk, membayangkan negeraku Indonesia, membayangkan ayah-ibuku yang tadinya sempat panik. Mungkin mereka kini mencariku dengan was-was.

Perutku mulai keroncongan, sesaat kemudian sebuah taksi berhenti tepat di depanku. Seorang laki-laki paruh baya menghampiriku dan menyapu pundakku.

"Kenapa tidak pulang, Nak?" tanyanya. Aku menggeleng.

"Besok saja, Pak."

"Terus siapa yang kau tunggu di tempat sunyi seperti ini?"

"Negaraku Indonesia."

Laki-laki berseragam sebuah perusahaan taksi itu lalu menuntunku naik ke atas taksinya. Aku duduk di sebelahnya dengan perasaan cemas yang masih kuat tergurat di wajahku.

"Nama kamu siapa?" tanyanya lagi di tengah-tengah tangannya mengemudikan setir dan kini mulai berbelok ke ruas jalan yang sudah tidak asing lagi bagiku.

"Yunus, Pak."

"Nama kamu bagus, tapi kenapa dirimu seperti ini, Nak?"

"Negaraku sendiri mengusirku. Tempatku disegel dengan aturan, dan sekarang saya tidak tahu lagi harus berbuat apa."

"Maksud kamu, rumahmu?"

"Bukan, Pak, tapi tempatku mendapatkan uang."

"Di mana?"

Aku terdiam. Kutahu jalur ini adalah jalur yang kembali akan membuatku meringis pilu. "Berhenti Pak!" pintaku kemudian. Laki-laki itu lalu menepikan taksinya di tepi jalan, lalu kutunjuk sebuah spanduk yang membentang tak jauh dari hadapan kami. Laki-laki itu membaca dan melirikku dengan mata angah.

"Itu aturan pemerintah kita, aturan negara, Nak. Orang seperti kita memang tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali tunduk pada aturan seperti itu. Bapak mengerti keadaanmu, bisa jadi di tempat inilah kamu menggantungkan hidup, bermain, tertawa, tersenyum ramah kepada banyak pengendara, atau membantu orang-orang yang kebetulan ingin menyeberangi perempatan jalan ini. Tapi seperti katamu tadi, tempat ini sudah tersegel untukmu. Bapak juga tidak bisa berbuat apa-apa."

"Negaraku sudah tidak peduli lagi dengan orang sepertiku."

"Bukan, bukan itu, tapi...!"

Belum selesai laki-laki itu menyelesaikan ucapannya, kubuka pintu mobil cepat dan berlari keluar. Namun di tengah langkahku, aku kembali teringat buku cetak yang tergambar negaraku Indonesia di situ. Langkahku berbalik dan menghampiri taksi dan laki-laki tadi yang kelihatannya menaruh keibaan besar di dadanya.

"Saya lupa buku negaraku, Pak. Terima kasih, tolong nanti katakan pada negaraku, jika saya masih punya harapan untuknya!" bergegas aku berlari menembus kesunyian dengan buku cetak negaraku Indonesia yang lari bersamaku.

================


Terik sudah meraja di keesokan hari. Aku duduk di bibir trotoar sambil memangku buku negaraku Indonesia, sambil menatapi riuhnya kendaraan yang hilir-mudik di hadapanku. Kuraih selembar kertas yang bergerak menghampiriku dengan tiupan angin, ternyata sebuah brosur produk makanan. Pensil yang terselip di balik celanaku lalu kukeluarkan dan mulai menggambar negaraku Indonesia.

Perlahan-lahan jariku meliuk, hingga terbentuk sketsa gambar Indonesia yang nampak miris di mataku.

"Ini negaraku, Indonesia. Jangan lagi menyegel hidupku!"

Aku tersenyum mengangkat dan memerhatikan gambar di tanganku. Selang beberapa saat kemudian ketika traffic light berganti merah, tiba-tiba seseorang melempariku dengan gulungan selembar uang kertas pecahan seribu rupiah. Tidak, aku tidak bisa lagi menerima kebaikan ini seperti dulu, sebab kini negaraku sudah punya aturan. Dan aku mencintai negaraku sendiri dengan aturannya.

Di tengah kondisi jalan kota yang lumayan macet, segera kuberlari mengejar dengan selembar gambar negaraku yang terayun-ayun. Nafasku tersengal, keringatku membuncah dalam keletihan meraja, ditambah rasa lapar yang meremukkan semangat. Maka kuraih badan mobil tersebut.

"Pak, i-ini uang ba-bapak. Ambillah kembali, Pak!" kataku sambil berlari-lari kecil mengikuti laju mobil itu. Laki-laki berkacamata dan berseragam cokelat berlambang salah satu dinas pemerintahan di dalam mobil itu terlihat heran menatapku.

"Ambil saja, Nak. Itu untuk kamu."

"Ta-tapi Pak, negaraku melarang. Sa-saya takut dengan negaraku, sa-saya juga ti-tidak mau bapak ke-kena hukuman hanya karna kasih saya u-uang seperti ini!"

Laki-laki itu tiba-tiba menghentikan laju kendaraannya tepat di tengah-tengah jalan. "Tapi bapak ikhlas, Nak. Kamu seharusnya tidak boleh menolak pemberian ikhlas bapak, sebab ini bagian dari sedekah dan ibadah."

Aku terdiam, lalu kuserahkan gambar negaraku Indonesia sebagai imbalan atas kebaikannya, "Ini gambar saya, gambar negaraku Indonesia. Pak, saya punya bakat menggambar, dan biarlah kutukar saja dengan uang pemberian bapak, yang penting bapak tidak beri aku uang seperti pengemis lagi di jalanan. Anggap saja seperti bapak membeli karya dan keterampilanku, Pak!" kataku yakin sambil menyodorkan gambar itu. Laki-laki itu pun meraih dengan senyum yang mengembang.

"Iya, Nak kalau begitu. Terima kasih, Bapak akan menjaga karyamu ini. Bagus sekali!" katanya

Mobil itupun kembali merayap pelan di atas pundak jalan. Aku tersenyum bahagia di tengah-tengah arus lalu-lintas. Ekor mataku terus mengikuti arah mobil itu dengan aliran darah yang belum stabil. Maka suara lantangku kini menyeruak melawan bising suasana kota.

"KATAKAN PADA NEGARAKU, KALAU AKU JUGA PUNYA KARYA BAGUS, PAK!!!"

Kotaku, Negaraku, 18 Februari 2008

=================================================
=================================================


Sebuah Dedikasi:

Saya ingin mengucapkan terima kasih untuk sebuah pengalaman dan perjalanan hidup yang terangkum dalam cerpen ini. Suatu ketika seorang anak memberiku gambaran tentang negari ini dengan perasaan cemas, dan besar harapannya jika suatu hari nanti ada yang mendengar seruan polosnya serta mendengar kata hatinya. Dan lewat kesempatan inilah kucoba melepas seruan itu, semoga dari semua ini kata hati anak itu setidaknya bisa memberikan renungan tersendiri buat semua pihak, termasuk saya pribadi. Dan buat seorang rekan, Unirma yang menitikan air mata ketika membaca tulisan ini di sebuah malam, kuharap itu adalah salah-satu wujud kepedulian yang lahir dari hati terdalammu.

Terima kasih pula buat semua blogger atas semangatnya selama ini!

Ashady, Bugistoto

http://blog.indosiar.com/bugistoto/?op=readblog&idblog=82126

0 comments:

Post a Comment