Thursday, March 20, 2008

You've gotta be kidding me !

Aku memandangi lelaki setengah baya itu dari sofa tempat aku duduk. Akhirnya aku bisa menemukannya, setelah tadi sempat terjebak dalam antrian yang cukup panjang. Aku seharusnya tidak perlu terjebak dalam antrian itu, hanya untuk menemukan lelaki ini. Kalau saja aku tidak bertemu seorang petugas sok tahu di luar sana.


*****


“Pak, maaf ya kalau saya mau mengajukan perpanjangan…” Aku belum menyelesaikan pertanyaaku, petugas yang aku tanyai langsung memotongnya.
“Badan atau orang pribadi, Mbak?” tanya petugas itu tanpa menoleh padaku.
“Badan Pak,” jawabku.
“Ambil nomor antrian, badan sebelah sana.” Petugas itu menunjuk ke seselah kanan.
“Tapi kalau mau…”
“Mbak! Ambil nomor antrian saja, bukan hanya anda yang saya layani,” ujarnya ketus.

Ihhh... orang yang aneh, apa susahnya dia menunggu aku menyelesaikan pertanyaanku. Tidak akan memakan waktu. Jelas-jelas dihadapannya ada keterangan, bagian informasi. Kalau hanya untuk duduk dan menyuruh orang mengambil nomor antrian, rugi banget negara mengeluarkan uang buat dia. Terlalu banyak uang yang dikeluarkan negara untuk kesia-siaan, salah satunya orang ini.

Aku mengambil nomor antrian. Aku segera beranjak dari hadapan petugas informasi itu. Aku melihat sekeliling. Sudah tidak ada bangku kosong. Artinya aku harus berdiri. Ada sekitar lima meja petugas untuk pengurusan PPh Badan atau perusahaan. Dan begitu juga di sebelah kiri untuk PPh orang Pribadi. Ini hari terakhir pelaporan, orang-orang sudah banyak yang berdatangan. Telat lapor artinya harus membayar denda.

Akhirnya nomor antrianku di panggil. Lumayan berdiri lebih dari satu jam. Aku baru mendapat duduk lima menit yang lalu. Cukup melelahkan. Tidak hanya kakiku yang pegal, hatiku juga pegal menanti sekian lama. Ditambah lagi cuaca cukup panas dan terik. Walau berdiri dibawah tenda, tetap saja panas menderaku. Panas dan berkeringat.
Aku menyerahkan berkas laporan kepada petugas. Dia memeriksa sejenak.

“Mbak mau mengajukan perpanjangan pelaporan pajak tahunan badan ya?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Maaf, Mbak salah tempat. Untuk pengurusan perpanjangan di dalam Mbak. Mbak silahkan masuk ke dalam. Pak Rudi namanya yang mengurus perpanjangan ini,” ujarnya sambil menyerahkan berkasku.
Salah tempat? Aku berdiri lebih dari satu jam hanya untuk mendengar kata-kata itu? Yang benar saja. Panas dibadanku langsung menjalar ke hatiku. Membara.

“Tapi Pak, petugas informasi yang disana itu menyuruh saya untuk antri disini,” aku berkata sambil menunjuk petugas bagian informasi tadi.
Dia melirik sekilas ke arah yang aku tunjuk.
“Ohhh… mungkin salah informasi saja Mbak. Maklum lagi ramai.”

Salah informasi? Bukan salah informasi. Tapi sok tahu. Tidak mau memberi informasi. Andai dia mau sedikit mendengarkan apa yang ingin aku tanyakan. Kekeliruan ini tidak akan terjadi. Dia samasekali tidak meberikan informasi. Dia tidak lebih seperti robot yang sudah diprogram. Untuk menyuruh orang-orang mengambil nomor antrian.

“Maaf Mbak, silahkan ke dalam. Masih banyak yang antri,” petugas dihadapanku menegurku lagi.
“Ya Pak, terima kasih dan permisi,” jawabku ketus.
Aku melangkah ke dalam dengan kesal.

Sekian lama aku menunggu, yang kudapatkan hanyalah nol besar. Aku kembali melewati petugas informasi tadi. Ada keinginan di hatiku untuk menumpahkan kekesalanku padanya. Dia yang menyebabkan semua ini. Tetapi berurusan dengan dia pastinya hanya akan membuang waktuku lebih banyak lagi. Sudah cukup waktuku yang terbuang percuma.

*****


Pak Rudi, akhirnya aku menemukannya. Tidak terlalu sulit untuk mencarinya. Tetapi untuk bertemu muka dengannya aku harus menunggu, ada tujuh orang yang juga mau bertemu dengannya. Setiap orang menghabiskan waktu sekitar sepuluh menit. Otakku langsung menghitung waktu yang harus aku habiskan untuk bisa menemuinya. Aku menghela nafas panjang. Aku harus menunggu lagi. Tenang, tenang Vera. Aku berusaha menenangkan diri sendiri. Fuihhh…

Aku menghempaskan tubuh di sofa yang ada diruangan itu. Masih untung ada sofa ini. Kebayang nggak sih, kalau harus berdiri lagi. Aku lebih memilih pulang dan datang besok. Kena denda? Masa bodoh. Kalau perlu biar aku yang membayar dendanya, jika perusahaan tidak bersedia karena menganggap ini kelalaianku. Aku sudah tidak perduli.

Ternyata tidak hanya aku korban petugas informasi tadi. Sebagian besar mereka yang ada disini menjadi korbannya. Malahan ada yang tadi marah-marah pada petugas itu. Jawabnya hanya singkat, bukan urusan saya. Menyebalkan. Beberapa orang masih sibuk membicarakannya, lebih tepatnya mengumpatnya. Aku tidak mau ikut-ikutan. Bisa-bisa panas dihatiku makin membara.

Aku mengalihkan perhatian. Aku memandangi Pak Rudi. Sepertinya dia orang yang ramah. Terlihat dari senyumnya yang selalu menghiasi wajahnya. Wajahnya terlihat bersih dan teduh. Dia melayani setiap orang dengan baik. Semoga saja bara dihatiku bisa meredup jika berhadapan dengannya nanti. Aku menaikkan bahu, yah semoga saja.

*****


“Selamat siang Mbak. Maaf ya Mbak harus menunggu lama. Maklum saja Mbak ini hari terakhir pelaporan pajak.”

Akhirnya aku bertatapan muka dengan Pak Rudi. Dia mempersilahkan aku duduk. Ternyata dia memang orang yang ramah. Ditengah kesibukannya dia tetap melayani dengan baik dan penuh senyum.
“Terima kasih Pak. Ya saya maklum kok Pak.” Kesalku sudah mulai berkurang ditengah penantianku tadi.
“Apa yang bisa saya bantu nih Mbak?”
“Ini Pak, saya mau mengurus perpanjangan pelaporan pajak tahunan badan.”
“Ohhh ya… Mbak bawa persyaratannya kan? Boleh saya periksa?”
“Yup, ini semuanya Pak,” jawabku sambil menyodorkan berkas-berkas persyaratannya.

Pak Rudi memeriksa berkas-berkasnya. Selain ramah, dia orang yang teliti juga rupanya. Satu persatu berkas-berkas itu diperiksanya. Tidak ada yang terlewatkan.

“Semua persyaratan sudah lengkap Mbak. Tidak ada yang kurang.” Ucapan Pak Rudi seperti air dingin yang mengguyur hatiku yang masih sedikit membara. Menyenggarkan dan melegakan. Aku tersenyum. Senyum kelegaan.

“Sebentar ya Mbak, saya siapkan dulu tanda terimanya.”
“Ya pak.”

Pak Rudi beranjak dari tempat duduknya menuju ruangan sebelah. Aku ternyata tidak harus menunggu lama. Hanya butuh waktu dua menit Pak Rudi sudah kembali.

“Mbak, ini tanda terimanya. Karena ini hari terakhir, surat perpanjangannya baru bisa di ambil Kamis depan.”
“Tapi kalau di ambil Kamis depan, nggak di dendakan Pak?” Aku ingin menegaskan agar nantinya tidak ada masalah.
“Ooo… nggak Mbak. Nanti waktu mengambil suratnya, Mbak cukup bawa tanda terima ini.”
“Ya terima kasih Pak.” Selesai juga akhirnya.
“Tapi Mbak, saya minta pengertiannya. Karena ini hari terakhir, cukup sulit untuk mengurus suratnya.”

Hah? Minta pengertian? Apa aku tidak salah dengar? Aku mengerti apa yang dimaksud Pak Rudi. Sangat mengerti malah. Bukan rahasia lagi, banyak sudah cerita-cerita kurang menyenangkan yang aku dengar tentang oknum-oknum pajak. Tetapi benarkah itu keluar dari mulut seorang Pak Rudi?

“Tapi Pak, bukannya tadi dibilang saya tidak akan kena denda?” Aku tahu ini bukan denda.
“Ini bukan denda Mbak. Karena banyak yang mengurus perpanjangan, tidak bisa hari ini saya urus semua. Suratnya tidak bisa keluar hari ini. Harus di urus beberapa hari. Jadi biar tidak kena denda Mbak. Mbak mengertikan?”

You've gotta be kidding me! Jelas-jelas aku tadi menanyakan masalah denda. Dan dia bilang aku tidak akan terkena denda jika suratnya diambil hari Kamis. Pak Rudi yang ramah langsung menjadi Pak Rudi yang memuakkan. Hatiku kembali membara. Aku benar-benar tertipu akan keramahannya. Alasannya juga aneh. Alasan itu hanya membuat dia terlihat bodoh.

“Lho tadi Bapak bilang, saya tidak akan kena denda jika saya ambil hari Kamis. Kok jadi bertele-tele begini Pak. Ya sudah saya tunggu deh, suratnya saya ambil hari ini.”
“Tidak bisa hari ini Mbak, semua pada sibuk. Harus meminta tanda tangan pimpinan saya.”

Aku tahu surat perpanjangan itu adalah surat yang standar. Tinggal ganti data perusahaan. Di print, lalu minta tanda tangan pimpinannya. Tidak harus menghabiskan waktu berhari-hari.

“Pimpinan Bapak adakan?” selidikku.
“Ya ada Mbak, tapi lagi sibuk. Dan surat ini tetap tidak bisa dikeluarkan hari ini.”

Aku benar-benar geram. Ini hanyalah akal-akalannya saja. Aku masih ingin melanjutkan perdebatan ini. Aku benar-benar tidak terima. Kata-kata Pak Rudi membuat niatku tertahan.

“Mbak maaf ya, silahkan kembali Kamis depan. Masih banyak yang antri Mbak. Mohon pengertiannya,” ujar Pak Rudi masih dengan senyum palsunya.
Dia mau mengusirku dengan halus.

“Oh ya, ntar di masukin dalam amplop saja Mbak. Kalau bukan Mbak sendiri yang mengambil suratnya, boleh dititipkan saja.”

Oh God! Dia terang-terangan menyampaikan maksudnya. Aku terbengong-bengong mendengarnya. Sumpeh lo! Pantas Pak Rudi dari tadi selalu tersenyum. Aku baru sadar sekarang, kenapa dia melayani setiap orang dengan senyum ramahnya. Dia tersenyum karena membayangkan setiap orang yang datang padanya adalah sumber uang tambahan. Aku menghela nafas panjang. Aku menahan geram.

“Ini nama dan no telpon saya. Sebelum datang ke sini Kamis depan, mbak bisa menghubungi saya terlebih dahulu.” Pak Rudi menyodorkan selembar kertas padaku.

Aku menerimanya dan tanpa melihatnya aku langsung memasukkan kedalam tas. Aku harus keluar dari ruangan ini sebelum bara di hariku berubah menjadi kobaran api.
“Permisi,” ujarku datar.

Aku beranjak dari tempat dudukku. Aku melihat dengan jelas tulisan yang terpampang di dinding, tepat di belakang Pak Rudi. Di tulis dengan huruf yang cukup besar. Mohon tidak memberikan imbalan.

Tetapi berilah pengertian, ujarku dalam hati. Mungkin tulisan itu salah tempat. Harusnya tidak di belakang sehingga tidak terbaca olehnya. Atau tulisannya kurang besar. Sambil berjalan ke luar ruangan aku teringat slogan pajak yang sering aku baca, Orang Bijak Taat Pajak. Kenapa orang pajak tidak bisa bijak?

*****


Pak Rudi, hari ini untuk bertemu dengannya aku tidak harus menunggu lama. Aku tidak perlu antri berjam-jam, tidak perlu bertanya dan tidak perlu bertemu si petugas informasi. Sekarang aku sudah ada dihadapannya. Sebenarnya bisa saja aku menyuruh kurir untuk mengambil surat perpanjangan itu. Tetapi aku ingin datang sendiri memberikan pengertian kepadanya. Aku datang tanpa amarah, tanpa bara di dada. Aku datang dengan ramah, seramah Pak Rudi yang menyambut kedatanganku. Tidak ada gunanya aku menghadapi orang seperti Pak Rudi dengan amarah.

“Selamat siang Pak Rudi, lumayan sibuk Pak?” sapaku seramah mungkin ketika dia sudah mempersilahkan aku duduk.
“Wahhh… ya lumayan Mbak,” jawabnya sambil tersenyum. Tersenyum karena sebentar lagi pundi-pundi uangnya akan bertambah. Aku juga ikut tersenyum. Rasakan pembalasanku.

“Maaf ada keperluan apa ya Mbak?” Sepertinya begitu banyak orang yang lalu lalang dihadapannya, sehingga tidak bisa mengingat setiap orang yang pernah bertemu dengannya. Bagus. Rencanaku bisa dilaksanakan.

“Saya mau ngambil surat perpanjangan Pak.”
“Ohh ya, boleh saya liat tanda terimanya Mbak?”
Aku meyodorkan tanda terimanya. Pak Rudi terlihat meneliti sejenak suratnya. Kemudian dia mencari surat perpanjangan itu diantara tumpukan berkas-berkas di atas mejanya.

“Ini Mbak suratnya.” Pak Rudi menyodorkan padaku surat perpanjangan itu. Aku menerimanya dengan tersenyum.
“Terima kasih, Pak Rudi,” ujarku masih senyum yang di buat semanis mungkin. Aku berdiri. Aku mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya.
“Terima kasih sekali lagi atas bantuannya Pak.”

Aku berbalik. Ketika aku akan melangkah, langkahku tertahan karena panggilan Pak Rudi. Aku kembali berbalik, menatap Pak Rudi dengan bingung. Berlagak bingung tentunya.

“Ada apa Pak?”
“Mbak, maaf nggak ada titipan dari kantornya?”
Yes! Pertanyaan yang sudah aku tunggu-tunggu dari tadi.
“Titipan? Apa ya Pak?” tanyaku dengan tampang bingung.
“Ada amplop yang dititipkan orang kantor Mbak?” ujarnya penuh harap.

Sepertinya dia tidak ingat kalau kemaren itu aku yang menerima pesan pengertiannya. Terlalu banyak pesan pengertian yang disampaikannya.
“Amplop?” tanyaku lagi dengan lagak berfikir.

Dia pasti sangat menyesal telah menyerahkan surat itu terlebih dahulu. Harusnya dia menanyakan amplop itu terlebih dahulu, mungkin itu yang ada dalam fikirannya sekarang. Aku tersenyum. Sangat tidak menyenangkan bukan kalau dipermainkan?

“Waduh, kalau tidak ada. Mungkin suratnya saya tahan dulu aja Mbak. Mbak bisa kembali besok.” Pak Rudi akhirnya mengeluarkan senjatanya. Raut mukanya mulai berubah. Tidak lagi tersenyum ramah.

Aha! Siapa juga yang mau bolak balik ke sini. Sayang ongkos taksinya. Aku tertawa dalam hati. Inilah aslimu Pak Rudi. Sudah cukup rasanya aku sedikit mempermainkan perasaan dia. Sudah ada beberapa orang yang menunggu untuk menyerahkan upeti padanya. Sebenarnya sih aku belum puas. Aku masih ingin bermain kata dengan orang ini.

“Masa saya harus balik lagi besok Pak? Bentar Pak. Saya coba telpon orang kantor dulu.” Aku beranjak sedikit menjuah darinya. Dan tentu saja aku hanya berlagak menelpon ke kantor. Satu menit kemudian aku sudah kembali ke meja Pak Rudi.

“Waduh maaf Pak, saya nggak tau. Ternyata ditaro dalam amplop tanda terima.” Padahal memang ada disitu dari tadi.

Aku mengambil amplop kecil yang berisi uang pengertian itu. Aku menyerahkannya kepada Pak Rudi dengan penuh senyum dan keramahan. Dia menerima dengan senyum terkembang. Senyum ramah kembali lagi timbul di wajahnya, setelah tadi sempat tenggelam. Amplop tersebut langsung dimasukkannya ke dalam laci. Mungkin sudah banyak tumpukkan amplop di dalam sana.

“Oke Pak Rudi, terima kasih atas bantuannya,” ujarku sambil mengulurkan tangan.
“Iya mbak, terima kasih juga.” Dengan senyum lebar dia menjabat tanganku.

Setelah berpamitan, aku melangkah keluar ruangan. Di depan pintu aku berhenti sejenak, merogoh isi tasku. Di dalamnya ada sebuah amplop. Berisi uang pengertian yang asli. Maaf Pak Rudi, saya belum mau mengerti. Amplop yang aku serahkan tadi padanya hanya berisi satu lembar uang seribuan. Dia memang tidak menyebutkan berapa nominal uang pengertian itu. Tetapi nominal yang aku berikan, pasti akan membuat dia terperangah dan bisa jadi marah. Namun dia tidak akan bisa menebak siapa yang memberikan amplop tersebut.

Nanti di kantor aku bisa menjelaskan kenapa amplop ini masih utuh. Kalau uang hasil pajak belum sepenuhnya menyentuh orang-orang miskin, lebih baik uang ini disumbangkan kepada yang lebih membutuhkan daripada kepada orang yang terlalu banyak kebutuhan. Apa yang aku lakukan mungkin tidak akan berpengaruh banyak. Paling tidak bisa memberi sedikit pelajaran pada Pak Rudi.

Aku berbalik, menatap Pak Rudi masih dengan senyum ramahnya melayani wajib pajak lain. Sumber pendapatan tambahannya. Aku tersenyum memandanginya dan berbalik melangkah. You've gotta be kidding me!

*****


Cerita ini adalah pengalaman seseorang, yang coba aku tuangkan dalam cerpen. Banyak sebenarnya cerita-cerita tentang oknum-oknum pajak. Malah sampai muncul istilah jangankan salah, benar saja dicari-cari salahnya.

Saat ini perpajakan sudah mulai mencoba memperbaiki systemnya. Sudah ada peraturan yang bisa menjerat oknum-oknum pajak yang "jahil". Semoga sistem baru ini benar-benar bisa diterapkan. Ayo bersama-sama saling memperbaiki, tidak hanya orang pajak, tentunya juga wajib pajaknya.

Oke buat Mbak Rose sukses ya lombanya... tetap semangat ya Mbak...
Thx buat henceu yang udah kasih info lombanya, juga buat om Bisot yang udah paksa-paksa hahaha...
thx buat Abell yang udah komentar sebelum dipublish hehehe *ayo tulisannya udah kelar belom?*
Thx juga buat teman-teman blog semua....
Ayo yang belum nulis, buruan nulis cerpennya... yukkkkk

Tengkyu buat "someone" yang sudah memberikan dukungan.

0 comments:

Post a Comment